Senin, 28 November 2011

New Ridha in New Years

Azan magrib berkumandang. Huhhh... lagi-lagi harus ikut ke surau untuk mengikuti pengajian. Untung saja dia selalu hadir disana hingga aku jadi sedikit betah. Coba kalau tidak, pasti bakal amat membosankan dan menjengkelkan.
            Tempat ini beda sekali dengan tempat tinggalku di kota. Biasanya jam segini aku sudah berada di tempat tongkrongan menghabiskan malam bersama teman-temanku. Tapi takdir malah mengirimku ketempat ini.
            Dua minggu sudah aku ditempat ini. Ditempat yang sangat membosankan bagiku. Sebuah pesantren di kedalaman desa yang jauh dari keramaian. Hanya dua alasan mendasar mengapa aku bertahan di pesantren ini, yaitu karena aku sudah tak punya tempat tinggal lagi setelah aku keluar dari rumah usai pertengkaran hebatku dengan Ibu. Dan satu alasan lagi adalah karena ketampanannya. Pria yang telah menyelamatkanku dari cengkraman laki-laki laknat di tengah malam yang gelap dan sekaligus orang yang telah membawaku ketempat ini.

            “Pakai ini! Pasti kelihatan cantik,” ucap Aisyah menyodorkan sebuah jilbab persegi padaku dengan senyumnya yang lebar.
            “Gak, ah. Panas!”
            “Iihhh...., emang kamu gak malu apa gak pake jilbab sendiri disana?” balasnya.
            “Biarin. Kan aku juga bukan santri disini.”
            “Iya, tapi setidaknya kamu harus hargai yang lain. Entar kalau kamu gak pake jilbab pasti yang lain bakal heran. Nih...!” Aisyah terus memaksaku seperti malam-malam sebelumnya. Aku tak bisa melawan lagi. Kuambil jilbab itu dan kulilitkan sekenanya di kepala. Aisyah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan heran. Aku tak peduli, sudah untung aku mau memakainya.
            Di surau, lagi-lagi aku ditugaskan menghafal satu surat pendek dalam Al-Qur’an. Benar-benar menjengkelkan. Padahal baru juga kemarin aku mengenal huruf arab, malah sudah harus menghafal rangkaian huruf arab tersebut. Untung saja Aisyah bersedia membantu menuliskan surat pendek tersebut kedalam tulisan latin dan juga si pria tampan itu yang selalu memberi dukungan hingga dalam dua minggu ini aku berhasil menghafal tiga surat pendek dalam Al-Qur’an, yaitu Al-Ikhlas, Al-Alaq dan juga An-Nas.
            Usai pengajian semua santri kembali ke kamar masing-masing untuk melanjutkan aktiviasnya yaitu belajar, Tak terkecuali Aisyah. Hanya aku wanita yang masih bertahan di surau malam itu. Aku terlalu damai melihatnya di sudut sana merapikan semua hambal dan sajadah yang sebagian masih belum dilipat. Aku mencoba mendekatinya dan menawarkan diri untuk membantu.
            “Boleh aku ikut membantu?” tanyaku.
            “Boleh,” ucapnya lirih disertai senyuman mautnya.
            Entah mulai kapan aku jadi anak rajin seperti ini. Seumur-umur aku tak pernah mengotori tanganku untuk mengerjakan hal-hal seperti ini. Mungkin ini efek kekagumanku yang begitu besar terhadapnya hingga hal seperti ini rela kulakukan.
            Aku terduduk sejenak di tangga surau, menantinya  keluar agar bisa kembali ke kamar dengan berjalan bersamaan dengannya walau hanya sekejab karena jarak kamarku denga surau yang tidak terlalu jauh. Hanya sekitar tiga meter dari surau. Berbeda sekali dengan kamarnya yang sedikit masuk ke depan setelah melewati kamar santri putri.
            Kulihat dia semakin dekat menuju tangga. Hatiku bersorak-sorai menanti kedatangannya.
            “Kok masih disini?” tanyanya.
            “Iya,” jawabku sekenanya.
            “Udah mulai betah nih di surau?” tanyanya lagi dan entah kenapa dia juga ikut duduk di tangga surau. Hatiku semakin berdebar saja dibuatnya.
            “Gak juga,” jawabku.
            “Terus...?”
            “Nungguin kamu.” Dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Sejenak terjadi keheningan.
            “Oiya, kapan kamu akan pulang?” pria tampan itu kembali memulai percakapan dengan menanyakan sebuah pertanyaan yang sangat tidak kuharapkan terucap dari bibirnya. Tapi ternyata pertanyaan itu hadir.
            “Kenapa? Kamu gak suka ya kalau aku lama-lama disini?”
            “Oh, bukan. Bukan begitu maksudku.”
            “Terus?”
            “Aku seneng kamu disini. Saaaangat senang. Tapi kan kamu masih punya masalah dengan Ibumu di kota dan itu harus segera kamu selsaikan,” jelasnya.
            “Aku yakin pasti saat ini beliau sangat mengkhawatirkanmu,” lanjutnya.
            “Biarin aja, siapa suruh sering marah-marah,” jawabku ketus.
            Pria tampan itu tersenyum mendengar jawabanku dan aku segera memintanya untuk mengganti topik pembicaraan.
            “Sudah, ah. Jangan bahas Ibuku lagi!”
            “Iya! Iya!.”
            “Oiya, jaketmu masih di kamarku. Entar aku balikin.”
            “Iya,” ujarnya.
            “Thanks ya, berkat kamu aku bisa selamat malam itu.”
            “Gak usah dipikirin, santai aja.”
            “Iya.” Aku tersenyum.
            Sejenak aku kembali membayangkan peristiwa malam itu. Malam dimana saat itu aku kebingungan harus melangkahkan kakiku kemana setelah aku keluar dari rumah tanpa membawa sepeser uangpun, tak ada barang bawaan, hanya pakaian yang melekat di tubuh yang menemani kepergianku dari rumah. Di perjalanan malam yang teramat gelap tiba-tiba saja tiga orang laki-laki mencegatku dan mencoba merenggut kehormatanku. Mereka mengelilingiku dan salah satu dari mereka memaksa dan menarik pakaianku hingga bagian lengannya robek. Untungnya sebelum semua terjadi dia datang menolongku. Dia selimuti tubuhku dengan jaketnya dan menghajar habis-habisan ketiga laki-laki itu.
            “Aku malu, malu sekali jika ingat saat pertama kali mengenalmu dalam keadaan yang amat buruk malam itu. Rasanya, aku ingin sekali mengulang kembali perkenalan kita,” lanjutku.
            Dia tersenyum. “Sudahlah! Gak usah diingat. Tapi..., kalau kamu emang mau mengulang ya gak masalah,” dia beranjak dari tempat duduknya. “Ayo jalan! Sudah malam.” Akupun ikut beranjak dari tangga dan mengikuti langkahnya di belakang.
            Genap sudah sebulan aku di pesantren ini. Enam surat pendek telah berhasil kuhafal tanpa terputus-putus dan kini aku juga sudah mulai lancar mengeja tulisan arab.
            Pagi itu Aisyah mengajakku untuk ikut berkunjung ke Panti jompo . awalnya aku tak mau. Nmun mengetahui kalau pria tampan itu ikut aku langsung mengubah keputusanku.
            “Ya, deh. Aku ikut. Tapi awas ya kalau kamu bohong!”
            “Beneran. Dia ikut kok. Liat aja entar,” ujar Aisyah meyakinkanku. Aku segera menuju kamar mandi dan merapikan diri.
            Di Panti itu aku melihat ratusan orang tua renta berlalu lalang disana. Kulihat ada yang asyik berbicara, menjahit, menyulam, menyapu, memasak, terbaring sakit, tak bisa berbicara karena bisu, serta ada juga seorang Nenek tua renta yang duduk di kursi roda karena lumpuh. Suasana tempat ini benar-benar membuat hatiku yang dulu keras meluluh seketika. Aku sangat miris dan terharu melihat keadaan mereka. Tak ada anak cucu yang menghibur mereka disini. Hanya sesama tua renta yang mereka ajak bercanda tawa. Aku berusha menahan air mata agar tidah jatuh membasahi pipiku. Beberapa detik kemudian tiba-tiba pria tampan itu datang menghampiriku.
            “Kamu tahu? Kebanyakan dari mereka ini adalah orang tua yang dibuang oleh anaknya. Mereka dianggap sebagai benalu oleh anak mereka sendiri,” jelasnya.
            “Kejam sekali mereka,” komenku.
            “Yah, itulah hidup. Kadang manusia lupa pada orang tuannya. Orang tua yang telah mengandung, merawat, dan membesarkannya hingga tumbuh dewasa. Saat orang tua sudah tak mampu berjalan, mereka justru membuang mereka layaknya sampah. Habis manis sempah dibuang,” dia tersenyum menatap luas kedepan. Tiba-tiba dia berbalik arah menatap tajam ke arahku.
            “Sebenarnya, bukan hanya mereka yang disini saja yang menderita karena anaknya. Masih ada satu Ibu lagi yang menderita diluar sana karena anaknya,” lanjutnya.
            “Siapa?” aku penasaran.
            “Ibumu.” Aku terkejut mendengar balasannya, Aku terdiam sejenak, merenungi apa yang pria itu ucapkan.
            “Sekarang Ibumu pasti menderita disana. Ditinggalkan oleh putri semata wayangnya yang entah berada dimana sekarang menurutnya.” Aku masih terdiam dan menatap kosong kedepan.
            “Kau tahu? Lima hari lagi tahun baru hijriah akan tiba. Kamu mau membawa masalahmu ini kedalam lembaran baru nanti? Pulanglah dulu! Minta maaf pada Ibumu. Dan setelah itu kamu bisa kembali kesini,” lanjutnya lagi dan aku masih tetap terdiam.
            Malam itu usai pengajian aku terus memikirkan perkataan pria tampan itu. Bayangan Ibupun terus hadir di pikiranku dan itu berhasil membuatku tak bisaa tidur semalaman. Akhirnya pagi itu juga aku putuskan untuk pulang menemui Ibu. Aku pamit pada semuanya tak terkecuali dengan pria tampan itu.
            Sesampai di rumah aku amat terkejut menemui sebuah kenyataan bahwa Ibuku telah pergi menghadap sang Ilahi. Beliau telah dipanggil lima hari sebelum aku pulang akibat sakit memikirkanku. Semua telah berusaha mencariku. Namun tiada yang mengetahui keberadaanku. Aku sangat terpukul, sedih dan teramat menyesal. Aku gagal menemui Ibu dan memohon maaf padanya. Aku terus menyesali diri, mengurung diri di kamar dengan iringan tangis dan derai air mata penyesalan yang tak usai. Aku benar-benar menyesal. Termat menyesal atas semua perbuatanku yang telah membuat nyawa Ibuku terenggut.
            26 November 2011 (30 Zulhijjah 1432 H)
            Di akhir tahun hijriah ini aku putuskan untuk mengakhiri kisah kelamku. Mengakhiri kesedihanku dan mencoba memulai hidup baru. Memulai hidup yang lebih baik seperti yang selama ini diharapkan oleh mendiang Ibu. Kuputuskan untuk membuang semua pakaian tak layak pandang yang dulu sering aku gunakan dan menggantinya dengan pakaian yang lebih tertutup.
            Di depan cermin aku mencoba mengenakankan sebuah jilbab putih pemberian Aisyah yang waktu itu dia berikan menjelang kepulanganku ke kota dengan rapi. Kupandangi diriku dan baru kusadari ternyata apa yang sering dikatakan Aisyah itu benar. Aku terlihat lebih cantik menggunakan jilbab.
            Esok hari tepat diawal Muharram aku mengemasi semua barang-barangku. Kuputuskan untuk kembali ke pesantren untuk kembali mempelajari ilmu agama sekaligus memperbaiki diri menjadi lebih baik. Aku pamit kepada seluruh keluargaku dan mereka amat mendukung akan keputusanku ini.
            “Jaga diri disana, ya!”
            “Ya, Bi.” Kepeluk Bibi Nuri yang sekarang menggantikan posisi Ibuku untuk menjaga dan merawatku.
            “Ayo berangkat!” paman Ilham menyapaku untuk segera berangkat. Beliau yang akan  mengantarku ke pesantrean. Aku segera memasuki mobil kemudian melaju meninggalkan rumah. Aku terus memandangi bangunan rumahku lewat kaca belakang. Rumah yang dulu sering kumasuki dengan keburukan. Rumah yang tak pernah damai karena ulahku. Aku berjanji suatu saat aku akan pulang untuk mengubah rumah itu menjadi lebih baik. Mengubahnya menjadi rumah yang benar-benar penuh dengan kebaikan dan kedamaian. Aku berjanji....
            Sesampai di pesantren aku melihat pria tampan itu sedang asyik memotong rumput di depan surau. Dia masih sama seperti yang kukenal. Masih tetap rajin dan tak pernah merasa lelah membantu menjaga dan merawat pesantren ini. Kudekati dia dan seketika itu dia heran melihat penampilanku yang jauh berbeda dari sebelumnya. Aku tersenyum dan kemudian mengulurkan tangan kananku layaknya orang yang ingin berkenalan.
            “Ridha.” Dia tersenyum dam menyambut uluran tanganku.
            “Ryan,” balasnya diiringi senyuman manisnya.....
Karya: Syukron Jayadi

0 komentar:

Posting Komentar