Rabu, 07 Desember 2011

Sindrom Gagal Menulis Jangka Pendek

By: Yulia Arianti
 
Tergagap aku menekan tuts-tuts keyboard laptop. Bukan karena baru belajar mengetik atau memainkan laptop. Ini adalah akibat dari mentalku yang belum siap menulis. Ternyata menulis itu adalah sesuatu yang gampang-gampang susah.
Ketidaksiapan mental ini yang membuat ruang hampa dalam jalur waktu menganga lebar. Kegagapan menuliskan cerita itu kurasakan begitu menyiksa. Seperti ketika seseorang kekasih ditinggalkan kekasihnya meninggal tiba-tiba. Tanpa ada kalimat perpisahan. Begitu sedihnya, namun tak bisa protes pada siapapun.
Ketakutan mulai menyelimuti hatiku. Aku menulis satu kalimat namun berhenti. Aku takut, teramat takut jika tidak bisa menyelesaikan tulisanku. Lalu kupaksakan lagi untuk menulis beberapa kata. Kubantah pikiranku sendiri. Kukatakan,” Tulisanku akan selesai jika aku terus menulis.“
Kemudian setelah jadi satu paragrah, suara di kepalaku membisikiku lagi. “Apa yang sedang kau tulis? Kau takkan mampu membuat tulisan yang menarik, kau tak puny ide yang cemerlang dan kreatif, juga tulisanmu mudah ditebak alias terlalu umum.” Aku menundukkan kepala.
Kali ini suara itu seperti meriam yang ditembakkan ke kepalaku. “Kau tak pernah serius untuk menulis, kau terlalu dangkal. Bahkan untuk membuat sebuah tulisan yang baik itu kau tidak punya rumusnya alias kau buta EYD.”
Ahh… aku mulai mengiyakan semua kalimat itu. aku menyerah. Kuambil sembarang buku di rak perpustakaan pribadiku. Kubaca lembar demi lembar buku itu. Bagaimana bisa mereka membuat buku-buku ini? Sementara aku kesulitan menuliskan hanya satu paragraph saja. Si penulis makan nasi akupun sama. Bagaimana bisa dia menghadirkan nuansa jiwa yang menyentuh pada tulisan-tulisannya. Sementara si penulis dibesarkan di negara yang sama, dengan jenjang sekolah yang sama dan budaya yang nyaris sama denganku.
Apa yang salah denganku? Aku menutupkan buku itu kemukaku. Mencari segala kemungkinan jawaban. Namun tak juga kutemukan. Lalu kupandangi buku-buku yang berjejer rapi di rak bukuku. Entah sudah berapa koleksi bukuku. Kupikir jika tidak hilang karena dipinjam teman, separuh dinding rumahku tentunya sudah penuh dengan buku-bukuku.
Bahkan dengan membaca sekian banyak buku, aku masih kekeringan ide untuk menulis sesuatu yang bermakna. Aku merasa mulai frustasi. Lalu kutuliskan kegundahan hatiku tentang ide yang tak kunjung muncul. Aku vakum sudah sebulan lebih dari menulis puisi apalagi sebuah cerpen.
Akhirnya aku menulis ini. Menulis kegundahan hatiku karena ternyata saat ini aku sedang terkena penyakit yang berbahaya. Entah apa nama untuk penyakitku ini, mungkin semacam “Sindrom Gagal Menulis Jangka Pendek”.
Setelah sedikit analisis yang tidak begitu mendalam, kudapati penyebab yang mungkin benar mungkin juga salah adalah: aku menulis dalam kondisi mental yang tidak sehat. Bisajadi aku berada dalam tekanan perasaan bahwa aku harus membuat sebuah tulisan yang baik dan bagus, sehingga belum-belm menulis aku sudah memikirkan bagaimana jika nanti hasinya jelek? Akhirnya tak ada satu tulisanpun yang tercipta.
Padahal jika kutilik lagi tulisan-tulisan ku di awal, aku memotivasi diri sendiri bahwa, aku menulis bukan karena mengharapkan sesuatu seperti pujian atau segala hal yang bisa dinilai. Namun aku menulis untuk sesuatu hal yang lebih tinggi pemaknaannya dari itu. Yaitu nilai kemanfaatan bagi orang lain yang membacanya, ini adalah konteks ibadah. Konteks menyampaikan sesuatu yang benar menurut nilai-nilai Illahiyah. Sehingga ketakutan itu dengan sendirinya harusnya segera tersingkir.
Karenanya, kupikir dalam menulis pun harus selalu ada introspeksi diri atas niat awal menulis, dan bukan berarti nilai tulisan serta unsur-unsur dalam penulisan ditinggalkan, seperti memperhatikan EYD. Kedua hal itu saling menguatkan. Sehingga juga perlu diasah terus.
Intinya, menyadari kemampuan diri, meluruskan niat lalu mulai menuliskannya, sembari merapikan tulisan-tulisan yang telah, sedang dan akan kita buat. Sekarang aku ingin melihat diriku sendiri dan menanyakan padanya: “Sekarang apa yang akan kau lakukan dengan masalahmu?”
Dialog dalam kepalaku berbalas: “Bagaimana? Kau belum bisa menyadari bahwa ‘Sindrom Gagal Menulis Jangka Pendek’ itu mulai teratasi. Buktinya kita telah selesai menuliskan satu ide tentangnya. Tentang “Sindrom Gagal Menulis Jangka Pendek” yang kita rasakan. Hahaha” aku tersnyum mendapati hari ini aku mulai melangkahkan kakiku lagi.

Cerah Dunia

By: Saepullah

Kabut malam menghiasi dunia
Air mengalir dalam lintasan riuh gelombang
Menuai hasil kian mendera
Insting pun menjalar ramah
Sambut hari nan cerah penuh ramah

Minggu, 04 Desember 2011

Aku Jatuh Cinta

By: Amma O'Chem

Dear, Diary

Maaf jika aku harus melukaimu dengan penaku
Hanya lembaranmu yang mampu menjaga setiap resahku
Hanya lembaranmu yang mampu menepiskan segala titik air mata

Hari ini aku jatuh cinta
Jatuh cinta pada dunia yang begitu asing bagiku
Dunia yang membawaku mengerti akan betapa berartinya hidup ini
Meski terkadang aku harus menangis akibat luka yang ada

Diary...
Aku jatuh cinta
Namun dunia itu terasa beda
Aku biasa
Namun dia luar biasa

Diary...
Katakan padanya aku jatuh cinta
Jatuh cinta pada setiap kata
Kata yang membuatku tersenyum
Kata yang mengetukku untuk tertawa

Diary...
Aku jatuh cinta


Dalam bilik mungil penuh inspirasi, Palangkaraya, 4 Desember 2011 

Bait Rindu

By: Saepullah

kasih,
terurai air mata
kala ijab qabul usai kuucap

kasih,
mata ini mengharap surga
dalam naungan bersamamu

kasih,
titip rindu untuk kebersamaan
yang selalu kita jalani

kasih,
sayangku untukmu. 

Hanya

By: Yoan S. Nugraha
setelah malam tiba di langit
sampaikan pada bulan
tentang cerita embun basah
... bahwa dinginnya hangat sudah
terapit diantara peluk dan desah
sampaikan pada awan
cerita mendung yang hujan
bahwa gerimis tidak sendirian

setelah larut tiba di simpang subuh
sampaikan pada sepi
tentang rindu didekap rengkuh
bahwa kecupnya hanya sebatas pinggir
bisiknya tidak sebatas bibir

setelah kau lelap di batas nyenyak
bawalah kesyahduan hingga dujung akhir
ada rampai cinta disana
meramu kasih
membebat rintih perih

setelah tiba dariku setatap sendu
balaslah dengan senyum termanismu
sebab malam tiba di langit
sebab larut di simpang subuh
hanya untuk menjemput temaram fajar
sungguh...
dan tubuh kita
lebur
luruh
ruh...

 
(*meja ilmu gubuk pikir
debur desember 0411

Pahlawan

By: Safitri Inge Ariani

Pahlawan itu layaknya akar pohon
tertancap, tertanam kuat dalam tanah
menahan berdirinya pohon nan rindang
Ia biarkan semua memuji dan mengagumi pohon,
merasakan manisnya buah
dan melupakannya yang terkubur dalam gelap

Pahlawan itu layaknya hujan
membiarkan rintiknya menghilang terserap,
kesejukannya direguk seluruh alam
Ia biarkan seisi semesta menyesap kesegarannya,
pepohonan tumbuh subur karenanya
dan melupakannya yang terbaur dalam tanah basah

Pahlawan tak ingin pujian
tak harap sanjungan
Berbuat dan menebar manfaat,
merasa bahagia dalam diam


Tuk Bapak, Ibu, dan semua pahlawan kehidupanku
yang berjuang tanpa pamrih,
Semoga Allah meninggikan derajatmu.

Banda Aceh,
10 November 2011